Pastikan Belanja Dalam Negeri, TKDN Terbukti Meningkatkan Investasi Dan Produktivitas Sektor Industri

Kamis, 16 Januari 2025

    Bagikan:
Penulis: Nora Jane
(Dok/Kemenperin)

Penerapan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) memberikan dukungan yang signifikan bagi industri domestik. Dukungan ini diwujudkan melalui jaminan peningkatan permintaan bagi industri, yang berasal dari belanja pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah, serta dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, kebijakan TKDN juga menjamin adanya permintaan di pasar domestik untuk industri Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Implementasi kebijakan ini juga berfungsi sebagai jaminan bagi investor di sektor manufaktur dan berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.

"Penerapan TKDN telah menunjukkan adanya peningkatan investasi baru, produktivitas industri, serta penyerapan tenaga kerja baru, terutama di sektor alat kesehatan, farmasi, dan elektronik termasuk HKT. Realisasi belanja pemerintah untuk produk manufaktur yang memenuhi ketentuan TKDN terus meningkat setiap tahunnya, dari Rp989,97 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp1.499,75 triliun pada tahun 2023," ungkap Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (14/1).

Kebijakan TKDN juga berhasil menurunkan angka impor HKT dan komponennya. Meskipun impor mengalami penurunan, permintaan terhadap produk HKT tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan HKT di Indonesia yang terus meningkat dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri, yang merupakan salah satu keberhasilan dari penerapan kebijakan TKDN di subsektor industri HKT.

Dalam kesempatan tersebut, Febri juga memberikan tanggapan terhadap pendapat yang disampaikan oleh peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dimuat dalam salah satu surat kabar nasional pada Selasa (14/1). "Dalam opini tersebut, penulis berargumen bahwa kebijakan TKDN bertentangan dengan kepentingan dunia usaha dan pengembangan industri nasional. Penulis menyajikan bukti empiris untuk mendukung argumennya dengan merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Thee (1997) serta Aswicahyono, Basri, dan Hill (2000). Bahkan, penulis juga mengacu pada hasil penelitian dari lembaganya sendiri, CSIS (2022), mengenai dampak ekonomi dari keb

Menurutnya, dua penelitian awal yang diajukan oleh penulis sebagai bukti empiris tidak lagi relevan dengan kondisi sektor manufaktur Indonesia saat ini. Sebagai contoh, penetapan persentase pembelian lokal yang sejalan dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) pada program PPNBM DTP untuk kendaraan roda empat pada tahun 2021 terbukti menjadi pengubah permainan dalam industri otomotif Indonesia. "Kebijakan ini berhasil meningkatkan penjualan kendaraan roda empat yang terpuruk akibat pandemi Covid-19. Selain itu, peningkatan penjualan produk otomotif pada periode tersebut juga berkontribusi pada peningkatan produktivitas industri komponen otomotif di tingkat 1 dan 2 dalam negeri yang memenuhi kebutuhan komponen industri otomotif itu sendiri," jelasnya.

Kebijakan TKDN yang diterapkan saat ini berlandaskan pada UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini muncul lebih dari satu dekade setelah dua penelitian awal yang menjadi rujukan penulis opini tersebut. Terdapat perbedaan signifikan antara kebijakan TKDN saat ini dan kebijakan pada saat penelitian dilakukan, seperti ukuran dan parameter, produk yang wajib disertifikasi, ambang batas, kewajiban pemerintah, serta kepatuhan industri dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. "Oleh karena itu, bukti empiris pertama dan kedua tidak dapat dijadikan dasar yang tepat untuk mendukung argumen penulis tersebut," ungkap Febri.

Hal yang sama juga berlaku untuk hasil penelitian CSIS (2022) yang menurut Febri sulit dijadikan sebagai dasar untuk menilai kegagalan kebijakan TKDN, sebagaimana yang dinyatakan oleh penulis. Penelitian CSIS didasarkan pada analisis data mentah dari SI (Survey Industri Besar Sedang) BPS tahun 2018-2019. Meskipun pada periode data tersebut kebijakan TKDN telah diterapkan, jumlah produk manufaktur yang telah tersertifikasi TKDN baru mencapai 3.207 produk.

"Jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana sudah terdapat 8.040 produk yang telah bersertifikasi TKDN, serta realisasi belanja dalam negeri pemerintah sebesar Rp989,97 triliun. Sayangnya, hal ini tidak diperhatikan oleh peneliti CSIS, terutama dampak dari belanja pemerintah tersebut terhadap industri manufaktur."

Febri menyatakan bahwa peneliti CSIS perlu memperhatikan isu ini, mengingat pada tahun 2018-2019, tidak semua produk industri mendaftarkan sertifikasi TKDN oleh produsen atau distributor. "Produk yang memiliki sertifikat TKDN adalah produk yang dipasarkan untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah," jelas Febri.

Peningkatan jumlah produk bersertifikat TKDN menunjukkan bahwa pelaku industri menyambut baik kebijakan ini. Hal ini terlihat dari antusiasme pelaku industri yang mendaftarkan produk mereka. "Perhatikan di lapangan, banyak investor yang mendirikan pabrik baru dan merekrut tenaga kerja baru agar produk mereka dapat memenuhi atau melampaui ambang batas TKDN, terdaftar di e-katalog, dan dibeli oleh pemerintah," ungkap Febri.

Mengenai pandangan bahwa kebijakan TKDN berdampak negatif pada industri pengguna komponen dan industri hilir, serta meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing ekspor, Febri menegaskan bahwa tidak logis jika penerapan TKDN justru menurunkan produktivitas dan daya saing industri yang memiliki sertifikat TKDN.

Sebaliknya, berkat kebijakan TKDN, permintaan terhadap produk jadi di industri hilir semakin meningkat, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas industri tersebut, serta berdampak positif pada produktivitas industri intermediate, bahkan hingga industri hulunya. Selain itu, nilai tambah yang dihasilkan oleh industri yang memproduksi barang ber-TKDN dapat dimanfaatkan untuk menciptakan inovasi produk baru, meningkatkan efisiensi produksi, dan produktivitas.

Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa studi tersebut seharusnya meneliti dampak penerapan TKDN pada industri yang berada satu langkah sebelum industri hilir, atau industri intermediate, dan bukan hanya mengukur dari pangsa impor bahan baku pada industri paling hulu. "Kami berpendapat bahwa CSIS perlu memahami struktur industri terlebih dahulu untuk dapat mengevaluasi efektivitas atau dampak kebijakan TKDN terhadap perekonomian nasional, terutama dampaknya pada industri hilir dan intermediate."

Kepala Pusat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (Kapus P3DN) Kemenperin, Heru Kustanto, menjelaskan bahwa Pusat P3DN Kemenperin didirikan pada tahun 2019. Sejak pendiriannya, unit kerja ini telah aktif mendorong peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui berbagai program dan kegiatan, seperti fasilitasi sertifikasi P3DN, sosialisasi kepada pelaku industri, serta memberikan kemudahan dalam sertifikasi TKDN kepada industri kecil (TKDN IK). "Seiring dengan perkembangan yang ada, produk yang banyak diadakan oleh pemerintah juga mengalami peningkatan investasi. Selain investasi baru, perusahaan-perusahaan juga meningkatkan kapasitas produksinya akibat tingginya permintaan di pasar domestik," ungkap Heru.

(Nora Jane)

Baca Juga: Besaran Subsidi Agar Pertalite Bisa Dijual Rp 10.000 Per Liter Terungkap
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.