Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual berpendapat bahwa ketahanan APBN pada tahun 2025 akan dipengaruhi oleh meningkatnya tekanan pembiayaan anggaran seiring dengan normalisasi belanja setelah efisiensi anggaran.
Hal ini sejalan dengan peluncuran 5 paket insentif fiskal oleh pemerintah pada bulan Juni hingga Juli 2025, yang bertujuan untuk memberikan dampak positif terhadap daya beli masyarakat, meskipun nilainya tidak sebesar stimulus yang diberikan pada awal tahun.
Insentif ini dianggap sangat penting mengingat meningkatnya kebutuhan belanja masyarakat selama periode libur sekolah dan tahun ajaran baru.
"Pemberian insentif fiskal dapat membantu memulihkan realisasi belanja pemerintah yang hingga April 2025 masih mengalami kontraksi sebesar 5,1% secara tahunan," kata David kepada Kontan, Selasa (3/6).
Namun, ia memperingatkan bahwa kebijakan ini juga berpotensi memperlebar defisit anggaran di tengah tahun.
Menurutnya, meskipun ada potensi pelebaran defisit anggaran, kemungkinan tersebut masih tidak terlalu jauh dari target pemerintah yang sebesar 2,53% terhadap PDB.
"Pelebaran defisit ini lebih disebabkan oleh lambatnya realisasi belanja negara sepanjang tahun, bukan hanya karena lonjakan pengeluaran saja," jelas David.
Sementara itu, penerimaan negara masih menunjukkan tren negatif, dengan kontraksi sebesar 12,4% (YoY) per April 2025. Penurunan harga komoditas global menjadi salah satu faktor utama yang menghambat pemulihan penerimaan negara.
David juga menekankan bahwa tekanan terhadap pembiayaan anggaran akan meningkat seiring dengan normalisasi belanja setelah efisiensi anggaran.
"Pernyataan ini menunjukkan adanya peningkatan tekanan untuk memenuhi kebutuhan dana melalui pinjaman," ujarnya.
Namun, ia menekankan pentingnya agar strategi pembiayaan tidak sepenuhnya bergantung pada penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), mengingat tingginya jatuh tempo SBN pada periode Juni–Juli 2025 yang mencapai Rp 213,73 triliun, atau sekitar 2,33% dari total SBN yang beredar.
"Penarikan utang sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, agar tidak menambah tekanan pasar dan risiko refinancing di tengah ketidakpastian global," jelas David.