Pengamat Mendorong Partai Politik Untuk Melakukan Perbaikan Setelah Mahkamah Konstitusi Menghapus Ketentuan "presidential Threshold"

Selasa, 07 Januari 2025

    Bagikan:
  • " target="_blank">
Penulis: Attar Yafiq
(ANTARA/Nadia Putri Rahmani/am)

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mendorong partai politik untuk melakukan perbaikan dalam struktur internal mereka setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Menurut Ninis, panggilan akrabnya, keputusan MK tersebut memberikan kesempatan bagi partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu untuk mencalonkan kader mereka sendiri tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain. Oleh karena itu, kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan melakukan perbaikan pada struktur kelembagaan partai terlebih dahulu.

"Kita memiliki waktu tiga tahun sejak putusan MK dibacakan pada tahun 2025, hingga pendaftaran calon peserta Pilpres 2029 yang akan berlangsung pada tahun 2028," ungkap Ninis dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, yang diikuti secara daring di Jakarta pada hari Senin.

Ninis menambahkan, "Ini berarti partai politik harus melakukan perbaikan untuk memastikan bahwa fungsi kelembagaan mereka berjalan dengan efektif."

Dengan adanya peluang yang terbuka setelah putusan MK tersebut, partai politik diharapkan dapat menjalankan fungsi kelembagaan mereka dengan baik, yang mencakup aspek rekrutmen dan kaderisasi.

Rekrutmen kader harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak sembarangan. Menurut Ninis, proses rekrutmen perlu dilaksanakan secara demokratis dan transparan. Selain itu, partai politik juga seharusnya menetapkan indikator yang jelas dalam mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.

Ia berpendapat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi memberikan peluang atau keistimewaan bagi partai politik untuk mengusung calon mereka sendiri.

"Selama ini, syarat yang ada cukup berat, sehingga sulit untuk maju secara mandiri. Oleh karena itu, koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Namun, sekarang partai politik diberikan kesempatan, 'Ayo, majukan kader kalian.' Terlebih lagi, waktu yang tersedia cukup panjang, yaitu 3 tahun," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Titi Anggraini, pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mendorong partai politik untuk mempersiapkan diri secara internal.

Meskipun masih terlalu awal untuk membahas peta politik 2029, Titi percaya bahwa partai politik akan melakukan perbaikan karena mereka ingin mencalonkan kader dan tokoh alternatif.

"Mereka (partai politik) akan mempersiapkan diri secara internal agar memiliki tokoh-tokoh alternatif yang dapat diidentifikasi sebagai figur-figur yang memberikan insentif bagi keberadaan partai politik," ujarnya.

Titi menekankan bahwa berdasarkan Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, ketentuan presidential threshold telah dihapus sepenuhnya, sehingga semua partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu berhak untuk mendaftarkan pasangan calon. Oleh karena itu, partai politik, terutama yang tidak memiliki kursi di parlemen, perlu mempersiapkan diri dari sekarang agar dapat menjadi peserta pemilu.

"Perlu diingat bahwa hanya partai politik peserta pemilu yang dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, kepada partai-partai, terutama yang non-parlemen, persiapkan kelembagaan dan konsolidasi internal partai sejak sekarang agar dapat lolos sebagai partai politik peserta Pemilu 2029," tegas Titi.

Mahkamah Konstitusi, pada hari Kamis (2/1), telah memutuskan untuk menghapus ketentuan ambang batas minimal untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

MK menyatakan bahwa ambang batas presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar prinsip moral, rasionalitas, serta menciptakan ketidakadilan yang tidak dapat diterima, dan secara jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(Attar Yafiq)

Baca Juga: Kemendikbud Perkuat Pelatihan Guru Bahasa Inggris Dengan 1.087 Fasilitator Nasional
Tag

    Bagikan:
  • " target="_blank">

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.